Abebe Bikila: Legenda Telanjang Kaki yang Menaklukkan Dunia Maraton
Pendahuluan
Abebe Bikila (7 Agustus 1932 – 25 Oktober 1973) tetap menjadi ikon abadi dalam sejarah lari jarak jauh, namanya identik dengan kejayaan Olimpiade, tekad yang tak tergoyahkan, dan sentuhan yang luar biasa. Pelari maraton Ethiopia ini memikat dunia dengan medali emas Olimpiade berturut-turut yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang diraih dengan cara yang kontras namun sama-sama luar biasa. Ia bukan hanya peraih medali emas Olimpiade Ethiopia pertama tetapi juga atlet pertama yang berhasil mempertahankan gelar maraton Olimpiade, mengukir namanya dalam keabadian olahraga.
Awal yang Sederhana dan Masuk ke Dunia Atletik Secara Tidak Sengaja
Abebe Bikila Lahir di komunitas kecil Jato, yang saat itu merupakan bagian dari Distrik Selale di Shewa, kehidupan awal Abebe tidak banyak memberikan indikasi tentang ketenaran global yang menantinya. Ia menjadi anggota Pengawal Kekaisaran Kaisar Haile Selassie, sebuah peran yang secara tidak sengaja membuka jalan bagi karier atletiknya. Latihan fisik yang ketat dalam pengawal tersebut mencakup lari jarak jauh, dan selama latihan-latihan inilah bakat alaminya dalam lari jarak jauh menjadi jelas.
Perkenalannya dengan dunia lari kompetitif terjadi secara tidak sengaja. Ketika sebuah tempat terbuka di tim Olimpiade Ethiopia untuk Olimpiade Roma 1960 pada menit terakhir karena cedera, Abebe, yang relatif tidak dikenal di kancah internasional, terpilih. Perubahan nasib ini menjadi salah satu momen paling berkesan dalam sejarah Olimpiade.
Kemenangan Tanpa Alas Kaki di Roma: Simbol Tekad
Maraton Olimpiade Roma 1960 merupakan debut internasional Abebe Bikila, dan ia menjadikannya sebagai salah satu yang tak terlupakan. Setibanya di Roma, sepatu lari yang disediakan membuatnya tidak nyaman dan melepuh. Dalam keputusan yang berani, Abebe memilih untuk berlari tanpa alas kaki, sama seperti saat ia berlatih di medan terjal di Ethiopia.
Berlari melalui jalanan berbatu kuno Roma, Abebe tetap berada di antara kelompok terdepan. Saat perlombaan berlangsung, ia menyamai langkah Rhadi Ben Abdesselam dari Maroko. Di dekat Obelisk Axum, sebuah monumen yang telah diambil dari Ethiopia oleh pasukan Italia beberapa tahun sebelumnya, Abebe mengambil langkah yang menentukan. Dengan gerakan cepat di kilometer terakhir, ia menjauh dari Ben Abdesselam, melintasi garis finis di bawah Arch of Constantine yang ikonik dengan waktu rekor dunia 2 jam, 15 menit, dan 16,2 detik.
Kemenangan Abebe bukan sekadar kemenangan pribadi; itu adalah momen penting bagi atletik Afrika. Ia menjadi orang Afrika berkulit hitam pertama yang memenangkan medali emas Olimpiade mewakili negaranya sendiri, yang menginspirasi generasi pelari jarak jauh dari benua itu. Ketika ditanya tentang keputusannya untuk berlari tanpa alas kaki, Abebe dengan gamblang menyatakan bahwa ia “ingin dunia tahu bahwa negaranya, Ethiopia, selalu menang dengan tekad dan kepahlawanan.”
Baca Juga: Sapto Yogo Purnomo: Pelari Peraih Medali Emas yang Mengharumkan Bendera Merah-Putih
Mempertahankan Mahkota di Tokyo: Seorang Juara dengan Sepatu
Empat tahun kemudian, Abebe Bikila kembali ke panggung Olimpiade di Olimpiade Tokyo 1964, kali ini sebagai juara yang terkenal. Hebatnya, hanya 40 hari sebelum perlombaan, ia menjalani operasi usus buntu. Meskipun menjalani operasi besar ini, Abebe bertekad untuk mempertahankan gelarnya.
Berbeda dengan kemenangannya di Roma, Abebe berlari di maraton Tokyo dengan mengenakan sepatu. Dengan menunjukkan ketahanan dan kebugaran yang luar biasa, ia memimpin di pertengahan lomba dan terus meningkatkan keunggulannya. Ia melewati garis finis dengan waktu rekor dunia baru yaitu 2 jam, 12 menit, dan 11,2 detik, menjadi atlet pertama dalam sejarah yang memenangkan medali emas maraton Olimpiade berturut-turut. Penampilannya begitu dominan sehingga ia bahkan melakukan latihan peregangan sebelum pelari lain selesai, menunjukkan daya tahan dan pemulihannya yang luar biasa.
Kemunduran dan Inspirasi Berkelanjutan
Abebe menargetkan kemenangan maraton Olimpiade ketiga berturut-turut di Olimpiade Mexico City 1968. Namun, cedera kaki yang dialaminya sebelum perlombaan menghambat penampilannya, sehingga ia terpaksa berhenti setelah menempuh jarak 17 kilometer. Meski usahanya untuk meraih medali emas ketiga tidak berhasil, kehadirannya di Olimpiade sebagai juara dua kali terus menginspirasi.
Tragisnya, karier lari Abebe terhenti karena kecelakaan mobil pada tahun 1969 yang membuatnya lumpuh. Meskipun mengalami kemunduran yang menghancurkan ini, Abebe menunjukkan kekuatan dan semangat yang luar biasa. Ia mendapatkan kembali sebagian mobilitas tubuh bagian atas dan terus berkompetisi dalam cabang panahan dan tenis meja di Olimpiade Stoke Mandeville tahun 1970, yang merupakan cikal bakal Olimpiade Paralimpiade. Ia bahkan memenangkan perlombaan kereta luncur lintas alam untuk atlet penyandang cacat di Norwegia pada tahun 1971.
Warisan Abadi: Ikon Ketahanan dan Inspirasi
Abebe Bikila meninggal dunia pada tanggal 25 Oktober 1973, di usia muda 41 tahun, karena komplikasi dari kecelakaan mobil yang dialaminya. Kematiannya diratapi secara nasional di Ethiopia, dan ia diberi pemakaman kenegaraan.
Dampak Abebe Bikila pada dunia olahraga tidak terukur. Kemenangannya di Roma dengan bertelanjang kaki telah memikat imajinasi dunia, melambangkan kemenangan jiwa manusia atas kesulitan. Kemenangan berikutnya di Tokyo, yang diraih setelah operasi besar, semakin mengukuhkan statusnya yang legendaris. Ia mendobrak batasan, menginspirasi satu benua, dan mendefinisikan ulang apa yang mungkin dalam maraton.
Banyak penghormatan telah diberikan kepada Abebe Bikila, termasuk penamaan Stadion Abebe Bikila di Addis Ababa untuk menghormatinya. Ia tetap menjadi simbol kuat dari kegigihan, kerendahan hati, dan potensi luar biasa yang ada dalam jiwa manusia. Kisahnya terus menginspirasi para atlet dan individu di seluruh dunia, sebagai bukti warisan abadi sang juara tanpa alas kaki yang menaklukkan dunia maraton.
Post Comment